PURBALINGGA, HUMAS – Jamasan pusaka merupakan salah satu cara merawat benda-bend pusaka, benda bersejarah, benda kuno, termasuk benda-benda yang dianggap memiliki tuah. Dalam tradisi masyarakat Jawa, jamasan pusaka menjadi kegiatan spiritual yang cukup sakral dan dilakukan sekali dalam satu tahun. Kegiatan ini juga termasuk kegiatan ritual budaya yang perlu dilestarikan.

“Kegiatan ini merupakan dinamika pengelolaan museum yang harus kami tempuh. Tujuannya, agar museum dan koleksi yang ada didalamnya senantiasa terjaga kelestarianya. Kemudian menjadi aset budaya yang membanggakan masyarkat Purbalingga,” ungkap Kepala Seksi Kesejarahan dan Kepurbakalaan Dinbudparpora Purbalingga, Rien Anggraeni, saat membuka acara jamasan pusaka koleksi Museum Profesor DR Soegarda Purbakawatja, Selasa (17/12).

Jamasan pusaka, lanjut Rien, merupakan tradisi tahunan yang sudah dilaksanakan untuk kali ke sepuluh, tahun ini. Yang menjadi pembeda, kali ini pihak museum mengundang sejumlah siswa SMA untuk turut menyaksikan prosesi  jamasan terhadap benda-benda sejarah peninggalan para bupati Purbalingga.

Dengan mengetahui potensi budaya para leluhur, diharapkan tertanam dihati generasi muda untuk senantiasa melestarikan nilai-nilai luhur dari peninggalan nenek moyang. “Generasi muda perlu mengetahui ini (peninggalan sejarah Purbalingga) agar bisa ikut berperan dalam menjaga kelestarianya,” katanya.

Salah seorang pegiat seni Purbalingga, Cune Yulianto, mengaku sangat senang dengan upaya yang dilakukan pengelola museum. Terutama dalam menjaga tosan aji koleksinya melalui prosesi jamasan.

Menurut Cune,  jamasan pusaka bisa untuk melestarikan budaya tentang kecintaan terhadap pusaka. Selain itu, dengan hadirnya para pelajar, bisa sebagai pembelajaran kepada generasi muda. “Kedepan, pelestarian benda pusaka bukan hanya milik yang tua-tua saja. Tetapi generasi muda juga harus mau ikut melestarikan. Diawali dengan pembelajaran seperti ini (menyaksikan jamasan),” terangnya.

Cune menyayangkan masih adanya anggapan sebagian masyarakat yang mengkaitkan prosesi jamasan pusaka dengan hal-hal yang membawa kemusyrikan. Menurutnya, prosesi jamasan pusaka hanyalah salah satu upaya untuk membersihkan pusaka dan tosan aji agar tetap lestari.

“Keris itu bukan hal yang musyrik dan harus disembah. Tetapi ini merupakan peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang dalam membuat tosan aji. Dan ini perlu dilestarikan,” tandasnya.

Jamasan pusaka yang dilakukan Museum Soegarda, ditangani oleh lima orang penjamas yakni Ari Purwoko, Hery Sujatno, Urip Tridadi, Kuat Budi Cahyo dan Urip. Oleh mereka ini, benda-benda pusaka peninggalan mantan bupati Purbalingga dibersihkan satu per satu. Koleksi peninggalan para bupati yang tersimpan di museum itu, adalah 13 buah tombak, 3 buah keris dan satu payung pusaka.

“Biasanya jamasan seperti ini bisa berlangsung sampai tiga hari. Hari ini (17/12) kita targetkan menyelesaikan 25 pusaka,” katanya disela-sela memberikan penjelasan kepada para siswa yang hadir.

Seperti diketahui, koleksi pusaka yang tersimpan di Museum Soegarda jumlahnya mencapai ratusan. Bukan hanya koleksi benda pusaka para  bupati, termasuk benda pusaka dan tosan aji milik warga yang dititipkan untuk disimpan di museum. “Jenis keris ada 50 buah, lainnya berupa pedang arab, cundrik, kujang dan pedang kecil,” jelasnya.

Prosesi jamasan diawali arakan rombongan penjamas dipimpin Kabid Kebudayaan Dinbudparpora Drs Sri Kuncoro. Setiba di meja penjamasan, Sri Kuncoro menerima sebilah keris pusaka, kemudian membuka warangka dan menjamas pusaka secara perlahan. Usai pembukaan, prosesi jamasan pusaka selanjutnya dilakukan di dalam ruang museum. (Humas/Hr)