PURBALINGGA – Budayawan Ahmad Tohari menilai kebudayaan modern saat ini amat serakah dan tidak ramah dengan gunung. Manusia seolah merasa memiliki keyakinan bahwa bumi dan seisinya telah diserahkan kepada manusia, sehingga bumi dan juga gunung pun boleh diperas. ‘Hutan yang menjadi baju semua gunung tidak dijaga, malah dibabat. Sungai yang menjadi bukti darma bakti gunung kepada kehidupan, dikotori. Wilayah kakinya digergoti, sehingga saat ini boleh dikatakan semua gunung berada dalam keadaan sakit,” kata Ahmad Tohari.

            Ahmad Tohari mengungkapkan hal tersebut pada Kongres Gunung I yang digelar di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Rabu (14/12). Selain Ahmad Tohari juga tampil sebagai pembicara Prof Ris Dr Ir Sutikno Bronto dari Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Kongres yang digagas Pemkab Purbalingga itu juga dihadiri Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bidang Energi Ir Arif Yuwono, MA, Bupati Purbalingga Tasdi, dan sejumlah undangan lain. Kongres diikuti oleh akademisi dari sejumlah Fakultas Geologi, instansi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), para bupati di lima kabupaten disekitar Gunung Slamet, komunitas Lima Gunung, dan sejumlah peminat gunung.

            Kongres tersebut juga menelorkan deklarasi Gunung Slamet dengan empat butir penting. Deklarasi itu yakni pertama bahwa Gunung api sebagai rahmat Tuhan yang Maha Esa, kedua, Berupaya menjaga keharmonisanserta kelestarian kehidupan di Gunung api. Ketiga, mengoptimalkan kemanfaatan gunung api untuk kemakmuran kehidupan sesuai  azas keamanan dan kelestarian, dan keempat guyub, bahu membahu, bekerjasama untuk hidup dan menghidupkan lingkungan gunung api.

            Ahmad Tohari yang dikenal dengan ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ ini meminta kepada semua manusia yang mengaku mahkluk beradab, maka harus merubah sikap dari negatif seperti tidak peduli bahkan merusak, menjadi menghargai dan memeliharanya. “Sikap menghargaai dan memelihara gunung ini sebagai wujud terima kasih kita kepada gunung,” katanya.

            Ahmad Tohari dengan topik makalah ‘Jangan Lupa Berterima Kasih Kepada Gunung’ menyebut gunung merupakan simbol keabadian. Dalam agama Hindu, gunung dipercaya sebagai tempat bersemayam para dewa. Tetapi seiring dengan ‘kemajuan’ peradaba, sikap manusia terhadap gunung berubah. Sekarang, lanjut Ahmad Tohari, kosakata ‘gunung’ menjadi predikat untuk hal-hal yang berlawanan dengan gaya hidup kekotaan atau budaya urban. Sebutan ‘wong gunung’, misalnya sudah lama terasa perendahan terhadap mereka yang tinggal di pegunungan.

“Ungkapan ‘kaya wong gunung’ (seperti orang gunung) selalu diarahkan kepada mereka yang dianggap tertinggal dalam mengikuti gaya hidup kekotaan. Kegiatan mendaki gunung yang menjadi ajang pendidikan menyintai gunung, malah sering didorong oleh ‘semangat penaklukan’ gunung sampai ke puncaknya. Maka mari kita singkirkan semangat menaklukan gunung dan menggantinya dengan semangat membaca gunung demi menghargainya sebagai pemberi sumber kehidupan,” ujar Ahmad Tohari.

            Sementara itu, Sutikno Bronto’ yang mengambil tema makalah ‘Gunung Api sebagai Pendukung Kesejahteraan Manusia; Pandangan Geologi’, mengemukakan, banyaknya gunung api di Indonesia mengandung sumber daya yang melimpah dalam menunjang kemakmuran masyarakat. Namun sesekali gunung api tersebut dapat menimbulkan bencana bagi penduduk di sekitarnya. Untuk mendukung kesejahteraan hidup masyarakat, gunung api harus dikelola berdasarkan prinsip bermanfaat, aman, dan lestari diantara pemerintah, ilmuwan dan masyarakat umum.

            “Keterpaduan  antara pemerintah daerah, ilmuwan dan masyarakat setempat sangat disarankan karena mereka mempunyai rasa memiliki, rasa tangungjawab, dan rasa mencintai terhadap daerah gunung api setempat lebih besar daripada instansi dari luar. Selain itu, untuk keterpaduan masyarakat umum, agar dibentuk Paguyuban Masyarakat Gunung Api yang diprakarsai oleh tokoh dari penduduk setempat,” kata Sutikno Bronto. (y)