Karsidi dan sebutret produksinya4PURBALINGGA, HUMAS – Berawal dari banyaknya limbah kulit kelapa (tepes) di desanya, Karsidi bersama kelompok tani Sri Lestari V di Desa Penolih, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, memanfaatkannya untuk membuat Sebutret. Sebutret (serat sabut kelapa keriting berkaret alam) atau disebut juga Rubberized Coir (RC) merupakan produk sampingan dari perpaduan tanaman perkebunan dan karet. ”Limbah tepes biasanya selama ini hanya difungsikan untuk pengganti kayu bakar, tetapi setelah kami mendapat pelatihan dari dinas (Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan/Dintanhutbun), bahan baku tepes kami manfaatkan untuk membuat sebutret,” tutur Karsidi, Selasa (14/5).

Proses pembuatan sebutret, jelas Karsidi, diawali dengan menggiling tepes dengan mempergunakan mesin pemecah kulit kelapa untuk memperoleh serat. Serat ini dipisahkan dari dengan bagian serat panjang dan halus, serat kasar, serat pendek-pendek dan serat keriting atau berombak. ”Serat yang dipakai untuk membuat sebutret yang keritingd an berombak,” katanya. Serat keriting yaitu serat alami dari sabut kelapa yang dipaksa menjadi serat bergelombang atau berombak. Serat keriting ini yang disebut dengan coir. Serat sabut kelapa yang sudah bersih, dipuntir/dipintal baik secara manual atau dengan mesin. Pintalan digulung, digilas dan dioven selama 2-3 jam pada suhu 80 derajat celsius. Kemudian pintalan hasil pemanasan di dalam oven, didinginkan atau diperam selama 1-2 hari. Tambang serat dibuka kembali sehingga diperoleh serat sabut kelapa keriting. ”Serat sabut kelapa keriting (coir) kemudian ditebar rata di dalam kotak cetakan kayu beralas ram kawat. Proses selanjutnya dengan menyemprot serabut itu dengan kompon lateks (getah karet alam) menggunakan gun sprayer yang didorong angin dari kompresor,” jelas Karsidi. Ukuran sebutret yang dikehendaki disesuaikan dengan cetakan yang digunakan ketika proses menjelang akhir sebelum diberi semprotan getah karet alam. ”Biasanya ukurannya ada yang 30 x 60 cm atau ukuran bantal kecil, dan ukuran kasur untuk tempat tidur satu orang 65 x 180 cm,” ujarnya.

Karsidi mengakui, sebutret belum banyak digemari oleh konsumen. Hal ini karena masih bersaing dengan kasur produksi pabrik. Selain untuk kasur, sebutret bisa digunakan bahan jok meubelair, mobil, pesawat dan kapal. ”Bisa juga digunakan matras olah raga lantai, dan peredam suara studio atau karpet lantai,” katanya. Produksi sebutret yang dijalani karsidi bersama kelompoknya rata-rata dalam satu bulan sebanyak 15 meter kubik. Harga per kubik Rp 3 juta. ”Untuk pemasaran kami masih mengandalkan kegiatan pameran yang difasilitasi pihak Pemkab. Namun, ada juga beberapa pelanggan yang memesannya,” katanya. Soal harga, Karsidi mencontohkan, untuk kasur lipat ukuran 65 x 180 cm dihargai Rp 450 ribu. Untuk bantal satu pasang (isi dua buah) dihargai Rp 200 ribu. Konsumen yang sudah mengetahui keunggulan sebutret biasanya memilihnya untuk bahan meubeleair atau kasur. ”Dibanding kasur, sebutret memiliki bobot lebih ringan karena poreus karena rongga pori-porinya lebar. Selain itu tidak menimbulkan panas meski lama diduduki. Dan tidak kempis atau lekuk sepanjang tidak dipanasi hingga suhu 90 derajat celsius,” ujarnya.

Di kelompok Sri Lestari V, selain memproduksi sebutret, juga membuat sapu dari tepes. Dalam satu bulan mampu memproduksi sekitar 200 hingga 400 buah sapu dengan harga jual Rp 5.000 per buah. ”Untuk produksi sapu tepes, hanya sampingan saja dengan memanfaatkan tepes yang tidak dipakai membuat sebutret,” tambah Karsidi. (Humas/y)