PURBALINGGA, HUMAS –  Tenaga kerja anak masih menjadi dilematis yang belum bisa terpecahkan. Satu sisi perlu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja anak itu, namun disisi lain  pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga tak bisa dihindarkan. Kondisi ini disokong oleh pengaruh budaya yang menganggap anak bekerja sebagai bagian dari pendidikan.

”Kewajiban anak untuk membantu orang tua mengakibatkan kurangnya kontrol sosial,”  kata Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Purbalingga, Tukimin, SH.

Tukimin mengemukakan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan sosialisasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Kabupaten Purbalingga, di ruang rapat Gedung A Setda, Rabu (14/11).

Tukimin juga  mengungkapkan, tenaga kerja di sektor informal tercatat sebanyak 42 ribu orang. Dari jumlah ini sekitar 70 – 80 persen merupakan kaum perempuan. Mereka juga bekerja pada profesi yang sebelumnya hanya dilakukan laki-laki, seperti tenaga security. Permasalahan yang muncul, jelas Tukimin, masih ada pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dipekerjakan antara pukul 23.00 hingga 07.00 WIB. Selain itu juga masih ada pengusaha yang mempekerjakan perempuan hamil pada jam 23.00 – 07.00 WIB.

”Terhadap pekerja perempuan tersebut, perlunya pengawasan terhadap pengusaha agar menjaga kesusilaan dan keamanan selama bekerja, sedang bagi wanita hamil perlu memberikan makanan dan minuman bergizi,” kata Tukimin.

Permasalahan ketenagakerjaan perempuan yang muncul lainnya menyangkut masih adanya pengusaha yang belum menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00 WIB. Juga ketetuan hak cuti melahirkan dan hak upah belum diterapkan semestinya. ”Untuk pengupahan, berdasarkan hasil sampel terhadap 36 ribu pekerja, sudah 70 persen dibayar sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK),” jelas Tukimin.

Sementara itu dalam paparan yang dipandu Kabag Hukum & HAM Setda Tri Gunawan, SH, MH juga menghadirkan Kasubag Hukum Polres Purbalingga AKP Senentyo, SH dengan materi ’Perlindungan Anak dan Perempuan dalam Proses Penyelidikan dan Penyidikan’,  dan  Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Purbalingga Helmi Najib dengan materi ”Konsepsi dan Praktek Pemasyarakatan’.

Senentyo mengungkapan, pada tahun 2011 Polres Purbalingga menangani 47 kasus tindak pidana perempuan dan anak, sedang pada tahun 2012 hingga bulan Nopember ini ada 42 kasus yang ditangani. Jenis kasus kekerasan itu terdiri dari pencabulan, perkosaan, pengancaman, persetubuhan, penganiayaan, pembunuhan, penelantaran, eksploitasi, paedophilia dan penjualan bayi.

Sedang Helmi Najib mengungkapkan, kendala yang dihadapi dalam pembinaan tahanan antara lain sarana prasarana rumah tahanan yang belum memenuhi syarat. Helmi mencontohkan, dari kapasitas Rutan Purbalingga sebanyak 78 orang, namun saat ini dihuni 185 orang. ”Over kapasitas ini jelas akan mempengaruhi terhadap program pembinaan nara pidana dan tahanan,” katanya.

Plt Sekda Imam Subijakto, S.Sos, M.Si yang membuka acara tersebut mengakui masih terdapat pelanggaran hak asasi manusia terutama terhadap perempuan dan anak. Contoh yang aktual yakni kasus pencabulan anak dibawah umur, perkosaan, persetubuhan ayah terhadap anak, dan kasus pembunuhan pelajar terhadap pelajar di lingkungan sekolahnya. (Humas/y)