Sore-sore ingin Makan Bubur Ayam? Mana Bisa?

Bisa dong. Kan ada Warung Hayam Wuruk. Buburnya nikmat, bikin orang yang nggak suka bubur jadi maniak bubur. Nggak percaya?

Beberapa tahun lalu, mungkin sulit bagi kita menemukan bubur ayam yang enak di Purbalingga. Apalagi bubur ayam yang jualan di sore dan malam hari. Wah, jangan harap lah hehe. Tapi, kehadiran Warung Hayam Wuruk mengobati keinginan itu.

“Setelah kami jualan sejak sekitar tahun 2008, mulai ada banyak penjual bubur ayam. Bahkan mulai ada juga pedagang bubur ayam keliling di sore hari,” ujar Dula Nuarita Panti atau yang akrab disapa Ita, pemilik Warung Makan Hayam Wuruk.

Berdagang bubur ayam tak terbersit dalam pikiran Ita sebelumnya. Setelah menikah dengan Hanif Wahyudi dan tinggal bersama mertua di RT 02 RW 01 Purbalingga Wetan, Ita sempat mengalami kesulitan keuangan. Terlebih sang suami sebagai guru di sebuah sekolah swasta pada saat itu belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga.

“Semula saya minta ditransfer uang sama ortu di Tangerang. Tapi saya pikir terus, saya mau sampai kapan begini. Lalu saya kepikiran untuk berdagang, tapi belum tahu mau dagang apa,” ujar lulusan akademi perhotelan.

Keinginan ini semakin menguat setelah Ita memutuskan mengambil rumah di perumahan di Kompleks Griya Abdi Kencana. Ita yang ayahnya seorang pedagang kuliner lumayan sukses di Tangerang, terpikir untuk mengikuti jejak sang ayah.

“Saya lalu bilang ke bapak, pak, tolong saya dikasih satu saja ilmu kuliner untuk bekal saya berdagang. Saya nggak mungkin minta ditransfer uang terus,” kisahnya.

Karena sata itu di Purbalingga memang jarang ada bubur ayam yang enak, sang ayah pun mentransfer ilmu meracik bubur ayam yang nikmat. Ita yang semula tidak mampu memasak sama sekali akhirnya terpacu untuk belajar cepat.

“Setelah bisa, langsung buka. Dan selama seminggu penuh, bapak tinggal disini untuk memantau saya,” katanya.

Usaha kuliner ibu dua orang anak ini ternyata mendapat respon positif masyarakat setempat. Saat itu, Ita hanya berjualan dalam bentuk gerobak di pintu masuk perumahannya.

“Melihat animo masyarakat yang bagus, bapak pun berani melepas, diakembali lagi ke Tangerang,” jelasnya.

Sempat pindah lokasi lagi, kali ini ikut bergabung dengan rumah yang disewa kakak iparnya sebagai kantor, di seberang Koramil Kota. Tak begitu lama, Ita mendengar tanah kosong di barat warungnya itu, bisa disewa. Diapun tak menyia-nyiakan kesempatan. Disewanya tanah itu selama 10 tahun, lalu dibangunnya warung makan yang lebih luas dan nyaman dengan konsep naturalis dengan berbagai gerobak di depannya.

“Saya juga minta tolong paman di Tangerang, minta diajarin bikin Soto Betawi, sate Padag dan Soto Mie. Sama seperti waktu detraining bapak, paman juga tinggal disini selama seminggu untuk memantau saya,” imbuhnya.

Untuk menjaga kualitas rasa, Ita harus memasukkan 17 bumbu rempah ke dalam Soto Betawinya. Bahkan untuk beberapa bahan, seperti lobak dan kecap, Ita khusus mendatangkannya dari Tangerang. Tiap menu memiliki gerobak sendiri yang dipajang di depan warung.

“Kenapa gerobak? Ini agar masyarakat langsung tahu apa saja menunya tanpa tanya. Trus gerobak juga menjadi ciri harga yang murah. Meski gerobak, kami juga menyediakan tempat makan yang luas dan nyaman,” jelasnya.

Nindia (19) asal mahasiswa Unsoed Blater Purbalingga asal Semarang mengaku kerap makan di Warung Hayam Wuruk. Dia sudah mencoba semua menu yang disajikan.

“Saya udah nyoba semua bubur ayam yang ada di Purbalingga. Ternyata cuma bubur ayam Hayam Wuruk yang enak. Soto Betawi, Soto Mie dan sate Padangnya juga enak banget,” puji gadis imut yang malam itu mengajak serta temannya.

Ya, cita rasa Bubur Ayam, Soto Betawi, Sate Padang dan Soto Mie racikan Ita di Warung Hayam Wuruknya memang nyam-nyam banget. Belum lagi aroma rempahnya yang menggoda. Tak usah ragu untuk mencoba. Mau? (*)