Di malam hari yang dingin, terlebih setelah hujan seharian, tak ada yang lebih nikmat dibanding menyeruput segelas jahe susu alias jaesu. Apalagi ditemani mendoan dan tahu berontak.

Wow…

 

Di tengah malam nan lengang, terdengar sayup-sayup percakapan hangat di sebuah warung di pinggir jalan. Itu warung jahe susu atau jaesu. Beberapa orang tampak sedang asik juguran menikmati seteguk demi seteguk wedang jahe yang berpadu dengan susu, cabe jamu, gula kelapa, kayu manis dan lada. Sesekali mereka mencomot mendoan hangat yang tersaji di atas meja.

“Salah satu yang saya kangenkan dari Purbalingga adalah wedang jaesu-nya. Dimana-mana mungkin ada wedang berbahan dasar jahe. Tapi tetap yang paling nikmat jaesu Purbalingga,” ujar Dedi (33) warga Bobotsari yang sering merantau di beberapa kota besar di Nusantara.

Wasman (45) juga sering mengunjungi warung jaesu. Selain minum di tempat, dia biasanya juga akan membeli sebotol juruh jahe (semacam sirup jahe) untuk dinikmati di rumah.

“Saya suka sekali minum jaesu, badannya jadi hangat dan sehat. Kalau harus kesini tiap malam kan nggak mungkin wong rumah saya jauh di Mrebet. Jadi paling seminggu sekali beli juruh, sekalian saya juguran disini,” ungkapnya.

Tak hanya para lelaki, kaum hawapun kerap datang ke warung jaesu. Biasanya kalau tidak ditemani suami atau saudara laki-lakinya, mereka membeli sebotol juruh jahe atau jaesu dalam plastik siap minum.

“Sebenarnya memang bisa bikin sendiri di rumah. Tapi saya pernah coba buat sendiri kurang enak dan ribet sekali. Jatuhnya malah lebih mahal karena biasanya toko bahan-bahan jamu nggak mau dibeli eceran,” jelas Vivi (26) warga Penambongan.

Jaesu memang menjadi alternatif pilihan bagi yang membutuhkan vitalitas dan kehangatan di malam hari yang dingin. Warung jaesu tak hanya menjadi tempat makan dan minuim, tapi juga berfungsi sosial, mempererat silaturahim, sesekali menjadi forum curhat kaum adam atau bahkan forum diskusi.

Apapun yang diperbincangkan, di setiap warung jaesu yang tersebar di beberapa lokasi, selalu ada teman medhangan, yaitu beraneka gorengan. Mulai dari mendoan khas Purbalingga yang basah, tebal dan nylekamin, tahu brontak yang serupa dengan tahu isi, pisang goreng dan bakwan yang gurih. Bagi yang belum makan malam, bisa menyantap lontong untuk mengganjal perut.

Datang  saja  ke  Jalan  Letkol  Isdiman,  tepatnya  sebelah  timur gedung PMI. Disitu ada dua warung Jaesu yang masih kakak beradik, yaitu Mbekayu Mumung dan Kang Muji. Tak hanya disitu, di seputaran alun-alun juga ada dua warung jaesu, yaitu milik Pak Kuat dan Pak Jasman. Semua asik buat tongkrongan.

Pada musim lebaran, biasanya banyak pemudik yang sengaja datang untuk membeli juruh jahe. Mereka bisa membawa botol sendiri, atau botol yang sudah disediakan pemilik warung jaesu.

Kang Muji mengatakan juruh jahe umumnya kuat bertahan hingga 1 minggu. Jika dimasukkan dalam kulkas, akan bertahan lebih lama lagi hingga 1 bulan. Namun, untuk penyimpanan, Kang Muji menyarankan agar tidak dicampurkan dengan susu.

“Kalau jahe disimpan setelah dicampur dengan susu apalagi dalam waktu lama, akan  terjadi proses fermentasi yang menimbulkan munculnya gas. Jadi pas tutup botol dibuka, akan ‘nggejos’. Bahkan bisa meledak jika tidak dibuka-buka,” terangnya.

Nah, untuk membuat jaesu di rumah, ada tips saran penyajian yang enak. Tuang juruh jahe hingga 50 ml atau ¼ gelas, tambahkan susu kental manis sesuai selera. Terakhir, seduh dengan air panas. Wedang Jaesu siap dinikmati. Jangan lupa mendoannya, ya… (*)