halaqoh ulama nu 20.11

 PURBALINGGA, HUMAS – Ro’is Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi mengatakan penerapan hukum Islam tidak akan efektif jika para petinggi masih didominasi orang-orang dengan akhlak yang buruk, seperti para koruptor. Selama para petinggi dengan akhlak buruk masih mendominasi, penerapan hukum Islam akan dijalankan secara parsial dan pada akhirnya rakyat kecil juga yang menjadi korbannya.

“Misal soal hukum potong tangan bagi pencuri. Kalau para petingginya akhlaknya masih banyak yang buruk, yang kena hukuman potong tangan kebanyakan mereka-mereka rakyat kecil yang mencuri karena lapar. Sementara para koruptor yang serakah justru bebas berkeliaran. Yang saya khawatirkan itu,” jelasnya saat menjadi salah satu pembicara dalam Halaqoh Ulama dengan mengusung tema ”Revitalisasi Tradisi NU dan Pengaruh Gerakan Trans – Nasional di Indonesia” di Gedung Dekopinda, Minggu (20/11).

Menurut Masdar, sebelum pemberlakuan Hukum Islam, seharusnya akhlak para petinggi dibenahi dulu. Bersihkan legislatif, eksekutif dan yudikatif dari para koruptor, pelaku kolusi dan nepotisme. Jika semua lini pemerintahan berakhlak karimah, penerapan Hukum islam benar-benar akan memberikan kemaslahatan umat.

Sementara itu, menurut pengamatan dan penelitian Dosen Hukum Tata Negara UNDIP Semarang Hasyim Asy’ari, NU sampai saat ini belum mengupayakan berlakunya hukum jinnayah baik secara formal maupun substansial. NU baru sebatas mengupayakan berlakunya esensi hukun jinnayah.

”Misal, hukum bagi pelaku zina, yang dalam KUHP belum dianggap hukum pidana, harus diperjuangkan menjadi pidana. Baru sebatas itu,” paparnya.

Selain dua pembicara ini, ada satu pembicara yang sangat menarik perhatian para peserta Halaqoh. Dia tak lain Mantan Aktivis Jama’ah Islamiyah Nasir Abbas. Pria asli Singapura yang lama tinggal di Malaysia ini secara gambalng menceritakan asal muasal dirinya terlibat menjadi anggota Jama’ah islamiya (JI) yang konon melakukan teror bom di sejumlah tempat di dunia.

”Sejak kecil, sayeo memang sudah diarahkan untok menjadi seperti itu. Sampai suatu ketika NII terpecah, dan salah satu sempalannya itu JI. Dan JI pun sekarang terpecah. Saye termasuk yang tidak setuju aksi bom bunuh diri itu, sehingga saye memilih keluar,” jelasnya dengan aksen melayu yang kental.

Nasir yang sedang berupaya menjadi warga negara Indonesia mengatakan dirinya kini mengabdikan hidup untuk membantu kepolisian, pemerintah dan siapapun yang ingin menghentikan aksi terorisme. Nasir sering diundang oleh pihak kepolisan untuk menyadarkan narapidana terorisme agar kembali ke jalan yang benar.

”Tapi saye bekerja semacam ini bukan karena uang. Tak harus semua ini karena uang, kan? Saye hanya ingin berbagi dan lebih bermanfaat. Saye independen. Kadang saye diundang kepolisian, NU, Muhammadiyah atau siapa saja,” tegasnya.

Halaqoh Ulama ini menjadi satu dari serangkaian kegiatan yang sama dan pembicara yang sama di lima kabupaten/kota di Jateng. Kelima kabupaten/kota itu antara lain Brebes, Tegal, Purbalingga, Jepara dan Wonosobo (13,20,27 November, 4 dan 11 Desember 2011). Tujuan kegiatan ini untuk membuka pikiran para ulama NU terhadap isu politik dan dunia Islam kontemporer. (humas/cie)