PURBALINGGA – Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga Drs Subeno, SE, M.Si mengatakan, pengelolaan daya tarik wisata yang dikelola oleh Dinas, BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), swasta dan masyarakat, tidak semata untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab lebih cenderung untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pengelolaan desa-desa wisata, Dinbudparpora tidak memungut PAD sepeserpun, semua diserahkan ke desa dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).

            “Muara dari pembangunan pariwisata adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Dinas (Dinbudparpora-red), tidak akan membebani lebih kepada pihak swasta atau desa wisata yang mengelola daya tarik wisata. Kami ingin mengembangkan pariwisata di Purbalingga dengan semangat Urip Bareng, Maju Bareng dan Sejahtera Bareng,” kata Subeno, Rabu (28/10).

Subeno mengungkapkan hal tersebut saat menerima kunjungan kerja DPRD Kabupaten Magelang di aula Dinbudparpora. Ikut menerima kunjungan tersebut Direktur PD Owabong Wisnu Haryo Danardono, SH, dan kabid Pariwisata Ir Prayitno, M.Si. Sementara rombongan dari DPRD Magelang dipimpin oleh Drs Suharno, Waket Ketua DPRD serta didamping Kepala Dinas Kebudayaan & Pariwisata Magelang Edy Susanto.

Subeno menegaskan, dalam pengelolaan pariwisata, Dinbudparpora selalu bersinergi, baik dengan legislatif, pihak swasta maupun SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) lain. Dinbudparpora tterus berupaya mengembangkan kualitas layanan dengan melakukan peningkatan kapasitas pelaku wisata, misanya melalui kegiatan pelatihan dan studi komparasi ke wilayah lain. Selain itu, Pemkab memberikan dukungan infrastruktur akses jalan menuju lokasi daya tarik wisata meski daya tarik itu dikelola pihak swasta. “Kami juga mendorong nantinya daya tarik wisata yang dikelola Dinbudparpora seperti Goa Lawa bisa dilimpahkan untuk dikelola BUMD agar lebih maju dan berkembang,” kata Subeno.

Menjawab pertanyaan dari salah satu anggota rombongan soal target PAD yang dikelola Dinbudparpora, Subeno menyatakan, beberapa daya tarik wisata itu sudah memenuhi target seperti Goa Lawa dari target Rp 450 juta saat ini sudah lebih dari Rp 500 juta yang disetor, kemudian target Monumen Tempat Lahir Jenderal Soedirman Rp 22,5 juta sudah mampu disetor Rp 25,3 juta. Begitu pula dengan Pendakian Gunung Slamet yang  direkomendasi PVMBG (Pusat Vulkanologi Mitigasi & Bencana Geologi) dibuka sejak 8 September lalu, sudah mampu disetor Rp 15 juta, dari target Rp 14 juta. Atas jawaban itu, sejumlah anggota DPRD Magelang memuji kejujuran Dinbudparpora dalam mengelola pendapatan.

Sementara itu wakil ketua DPRD Kabupaten Magelang Suharno mengatakan, meski Kabupaten Magelang terdapat Candi Borobudur  yang sudah berkelas dunia, namun Pemkab belum mampu mengoptimalkan potensi yang ada khususnya untuk memanfaatkan kunjungan wisatawan ke Magelang. Pengembangan pariwisata di Magelang masih cenderung  hanya berpijak pada PAD. Begitu juga dengan pengelolaan desa wisata, Pemkab belum mampu berbuat banyak seperti di Purbalingga yang telah mampu memberikan fasilitasi melalui bantuan keuangan khusus dan menempatkan fasilitator di setiap desa wisata.

“Kami mengistilahkan, sepertinya pengelolan pariwisata antara di Purbalingga dan Magelang, ibarat bumi dan langit. Purbalingga sudah jauh lebih maju, dan kami akui harus belajar ke Purbalingga,” kata Suharno, politisi dari Partai Gerindra ini.

Senada dengan Suharno, Kepala Dinbudpar Kabupaten Magelang, Edy Susanto mengatakan, meski Magelang memiliki Candi Borobudur, namun pendapatan ke Pemkab hanya sekitar Rp 300 juta. Padahal kunjungan ke Borobudur lebih dari 3,6 juta wisataean per tahunnya.Pendapatan itu hanya dari parkir dan pendapatan lainnya. Sementara dari daya tarik wisata Ketep Pass, Pemkab Magelang malah mampu mendapat bagi hasil dari Pemprov Jateng selaku pemilik sekitar Rp 1 miliar per tahunnya. “Jika dilihat jumlah kunjungan wisatawan ke Magelang, kami memang yang terbesar se-Jateng, namun dari sisi PAD, boleh dibilang masih kecil,” kata Edy Susanto.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur PD Owabong mengatakan, pendapatan bruto Owabong per tahun sekitar Rp 29 miliar, dari pendapatan ini setelah dikurangi pengelolaan yang disetor ke daerah sekitar Rp 5 miliar, sedang pajak hiburan yang disetor  tahun ini ditarget Rp 4 miliar. “Pesaing Owabong memang semakin banyak, namun kami terus melakukan diversifikasi usaha dan melakukan penetrasi pasar melalui promosi digitalisasi serta membangun jejaring dengan biro-biro wisata, serta pengelola wisata lainnya, termasuk dengan pengelola Candi Borobudur,” kata Wisnu. (y)