PURBALINGGA – Angka kemiskinan Kabupaten Purbalingga pada bulan Maret 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018, yakni dari 15,62% menjadi 15,05%. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah, Sentot Bangun Widoyono MA saat menyampaikan materi pada Forum Group Discussion (FGD) Expose data Strategis Kabupaten Purbalingga, Kamis (5/11) di OR Graha Adiguna.

“Sekedar bocoran, angka kemiskinan di Kabupaten Purbalingga tahun 2019 mengalami penurunan dari 15,62% di tahun 2018 menjadi 15,03% pada bulan Maret 2019. Indikator yang membanggakan, adalah ada penurunan pada tingkat kedalaman kemiskinan. Artinya sebenarnya mereka yang tadinya berada di kerak kemiskinan mulai terangkat meskipun belum sukses melewati batas garis kemiskinan,” katanya.

Sentot menuturkan, untuk mengukur kemiskinan makro, penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk/keluarga yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Meski demikian menurut Sentot Garis Kemiskinan sangat sulit bahkan hampir mustahil bisa diturunkan karena kenaikan harga/inflasi pasti selalu ada, sedangkan deflasi juga memiliki dampak yang tidak baik.

 “Kebijakan pengendalian inflasi yang tidak efektif juga dapat menambah angka kemiskinan, perlu kehati-hatian, karena mereka yang dalam kategori ‘hampir miskin’ bisa menjadi dalam kategori ‘miskin’. Jika terjadi kenaikan (inflasi) GK sebesar 5% maka tingkat kemiskinan akan meningkat jadi 17,7%,” katanya.

Sentot juga mengurai masalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Purbalingga yang masih dalam kategori sedang, yakni 68,41 pada tahun 2018. Dari beberapa komponen IPM, menurutnya aspek capaian pendidikan di Purbalingga yang masih rendah. Mulai dari Harapan lama Sekolah (11,94 tahun) yang masih di bawah Jawa Tengah maupun Nasional, demikian pula Rata-rata Lama Sekolah (6,87 tahun).

“Saya menduganya mereka yang sudah sarjana tidak mau kerja di Purbalingga. Karena rata-rata lama sekolah yang kita hitung yakni yang rata-ratanya umur 25 tahun ke atas. Jadi yang perlu kita pikirkan, apa upayanya supaya orang bisa bekerja bertahan di negeri sendiri, kampung halaman,” katanya.

Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi SE BEcon MM menyampaikan ketersediaan data yang valid merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan suatu daerah. Kebijakan pemerintah yang dbuat selalu mendasari dari data.

“Oleh karenannya data yang akurat dan valid memiliki peran yang setrategis dalam merumuskan kebijakan pemrintah agar tepat sasaran. Capaian kinerja pemerintah juga begitu, karena kita kerja siang malam jungkir balik kerja keras ternyata endingnya capaian kinerja diukur dengan data,” katanya.

Ia mengakui adanya polemik di desa terkait dengan data, yakni masih adanya mereka yang harusnya menerima bantuan dari pemerintah ternyata belum karena belum masuk data base (exclusion error). Oleh karenannya Pemkab Purbalingga akan memverivikasi dan memvalidasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), hal ini bertujuan agar bantuan-bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran.

“Kami di pemerintahan juga sedang berupaya keras agar angka kemiskinan turun. Pemerintah memiliki target ke depan angka kemiskinan di Purbalingga bisa menjadi satu digit,” katanya.

Tahun 2020, BPS juga akan menyelenggarakan hajat besar berupa Sensus Penduduk. Bupati meminta kepada para Pimpinan OPD untuk sosialisasikan masyarakat luas untuk mensukseskan sensus ini. Metode sensus kali ini juga akan menggunakan berbagai kombinasi metode, baik tradisional, kombinasi dan berbasis registrasi.(Gn/Humas)