PURBALINGGA, HUMAS – Nasib seseorang memang tak bisa diduga, Suwitno (45) warga Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Purbalingga, kini menjadi pengusaha sukses onde-onde. Usahanya lebih banyak di luar kota di berbagai provinsi. Semula, Wiwit—panggilan Suwitno hanya berprofesi sebagai penderes nira kelapa.

            Tempat usahanya yang berjumlah 30 counter sudah merambah di wilayah Jawa Barat, Jateng, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan Jambi. Onde-onde yang dijualnya dengan merk ‘Perwira’.  Di Bandung, di tempat usahanya, counter onde-onde diberi nama ‘TKS’ yang singkatan dari Tangkisan. Nama asal desanya.

            Kesuksesan Wiwit kini diikuti oleh beberapa teman-teman dan tetangganya dari Desa Tangkisan. Sebut saja ada Romidi yang memiliki 4 tempat di Batam, Muhamad Azim 5 tempat di Malang, Pujianto 3 counter di Wonosobo  dan Suratno yang memiliki 6 counter di Sleman dan Temanggung.

            “Saya mulai berusaha membuat onde-onde sejak tahun 1995 di Bandung. Ketika awal usaha masih sulit dipasarkan. Saya mencoba meniru onde-onde dari Aceh, namu resep saya modifikasi agar sesuai dengan selera masyarakat Bandung,” ungkap Wiwit saat diterima Wakil Bupati Sukento Ridho Marhaendrianto, Senin (27/8).

            Usaha Wiwit mulai berkembang tahun 1998 – 2000. Onde-onde buatannya mulai digemari oleh pelanggan. Bentuknya yang kecil-kecil dengan rasa khas kacang ijo menjadi banyak pelanggan yang ketagihan. Dengan berkembangnya usaha itu, Wiwit kemudian membuka tempat di berbagai kota di Indonesia. Setidaknya kini Wiwit memiliki 30 tempat penjualan onde-onde. “Setiap tempat usaha, saya kendalikan dari Demak. Setiap bulan saya harus berkeliling kota untuk mengecek counter penjualan onde-onde,” ujar Wiwit.

            Sistem yang dijalankan, Wiwit memberikan gaji antara Rp 700 ribu hingga satu juta kepada karyawan untuk menjaganya. Gaji itu diberikan bersih. ”Saya sudah menanggung rumah, makan minum, uang rokok dan bahkan uang pulsa. Mereka ibaratnya hanya menerima gaji,” ujar Wiwit yang banyak mempekerjakan tetangganya.

            Omzet penjualan onde-onde rata-rata Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Omzet ini masih kotor. Keuntungannya sekitar 40 persen dari penjualan sehari-hari.

            Wiwit juga tak pelit membagikan ilmunya termasuk cara masak onde-onde khasnya. Beberapa tetangga di desa yang dulu bekerja padanya, kini sudah dilepas untuk membuka usaha sendiri di berbagai kota. ”Jika ditotal, saat ini sudah ada 200 an tempat usaha dengan karyawan sekitar 2.000 an,” kata Wiwit.

            Onde-onde buatan Wiwit sebenarnya tak beda jauh dengan onde-onde yang banyak dijual di pasaran. Hanya saja, soal rasa boleh dibilang berbeda. Bahan baku masih sama, seperti tepung, gula pasir, vanili, mentega, wijen. ”Kalau onde-onde buatan saya bentuknya kecil-kecil. Setelah ramuan diaduk dibiarkan 2 – 3 jam, baru digoreng,” katanya.

            Kesuksesan warga Desa Tangkisan ini setidaknya sudah dirasakan pula oleh warga tempat asalnya. Para perajin onde-onde ini mencoba mengumpulkan uang untuk membantu warga tidak mampu di desanya membangun rumah. Juga membangun jalan desa. ”Kami sudah mengumpulkan untuk dana sosial sekitar Rp 12 juta. Dana itu untuk membantu warga yang kurang mampu,” ujar Wiwit yang dibenarkan Muhamad Azim.

            Wakil Bupati Purbalingga Sukento menyatakan rasa salut atas usaha yang digeluti oleh warga Purbalingga di perantauan. Wabup berjanji akan membantu fasilitasi seperti membantu mencarikan hak paten atau hak merk atas onde-onde buatan Purbalingga. Selain itu, bantuan bisa juga berupa fasilitasi ke perbankan agar mendukung permodalan misalnya untuk membuat gerobak. ”Bisa saja, perbankan membantu permodalan atau bantuan lain seperti stiker di gerobak jualan atau seragam bagi pekerjanya,” kata Wabup. (Humas/y)