PURBALINGGA INFO — Pemerintah Kabupaten Purbalingga terus menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan potensi industri kreatif lokal, khususnya di sektor batik dan fesyen. Melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), Pemkab Purbalingga menggelar pelatihan dan pendampingan bagi para pengrajin batik dan desainer lokal guna meningkatkan daya saing Batik Purbalingga, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga hingga pasar internasional.
Program ini bekerja sama dengan LF Fashion Consultant dan didukung oleh PT HM Sampoerna Tbk melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) “Sampoerna untuk Indonesia”. Pelatihan yang berlangsung di SMK Bojongsari ini menghadirkan perancang busana nasional sekaligus Vice Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Lisa Fitria, sebagai mentor utama.
Lisa mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang telah dilaksanakan tahun sebelumnya. “Ada dua pelatihan, yaitu pengembangan motif batik Sudirman yang berbasis kontemporer khas Purbalingga, dan satu lagi adalah Fashion Ready to Wear Inkubator. Nah, tahun ini kami lanjutkan dan lebih menekankan pada output berupa busana siap pakai berbasis sustainable fashion,” jelasnya saat ditemui di sela pelatihan, Jumat (13/6/25).
Menurut Lisa, pendekatan yang digunakan dalam pelatihan kali ini berbeda dari biasanya karena peserta diajarkan metode batik pola. “Metodenya adalah mendesain dulu busananya, baru kemudian membuat batiknya. Jadi lebih efisien, harganya bisa ditekan, dan daya jualnya jadi lebih kompetitif. Harapannya, konsumen bisa mendapatkan batik tulis dengan harga yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Selain menekankan pada konsep keberlanjutan, pelatihan ini juga mengedepankan aspek keterampilan tangan atau craftsmanship. Peserta diajak memanfaatkan limbah kain atau sisa perca sebagai bahan aplikasi seperti smock, bunga, hingga ulir benang pada busana. “Biasanya busana dijual di harga Rp300 ribuan, tapi dengan sentuhan craftsmanship, nilainya bisa naik dua kali lipat,” kata Lisa.
Lisa juga menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai tradisi dalam proses pengembangan motif batik agar tetap memiliki identitas lokal yang kuat meski diarahkan pada pasar yang lebih luas. Ia berharap pelatihan ini bisa menjadi jembatan bagi para pelaku UMKM untuk tetap kreatif tanpa kehilangan akar budaya mereka.
“Kita pengin memberikan pengetahuan dan pelatihan untuk teman-teman UMKM di Kabupaten Purbalingga untuk menciptakan motif-motif batik Purbalingga yang tetap memegang filosofis atau pakem-pakem khas Purbalingga, tapi didesain secara kontemporer agar bisa diterima pasar lokal maupun internasional,” tambah Lisa.
Pelatihan ini diikuti oleh 20 pembatik dan 22 desainer lokal yang tergabung dalam Asosiasi Fashion Desainer Purbalingga (Afdega), serta siswa SMK jurusan tata busana dan beberapa desainer independen. Lisa menekankan bahwa penting bagi generasi muda untuk memahami proses dari mendesain hingga menjadi produk, termasuk membangun mindset bisnis agar dapat menghasilkan produk berkualitas.
“Mindset-nya harus ke pasar nasional bahkan internasional, bukan hanya Purbalingga. Tapi tetap harus membawa ciri khas lokal, terutama dari motif-motif batiknya,” tambahnya.
Salah satu peserta, Shafira Zahrasani Amalia, yang merupakan desainer muda dari Afdega, mengaku mendapatkan banyak manfaat dari pelatihan ini. “Saya punya usaha konveksi di rumah, baru jalan setahun. Pelatihan ini sangat menambah wawasan saya, terutama soal tren fashion ke depan. Sekarang kan fast fashion lagi marak dan menimbulkan banyak limbah. Dengan konsep slow fashion ini, kita bisa ikut menanggulanginya,” ujarnya.
Melalui pelatihan ini, Pemkab Purbalingga berharap Batik Purbalingga tidak hanya dikenal sebagai produk tradisional, tetapi juga mampu tampil modern, fungsional, dan ramah lingkungan sehingga memiliki daya saing tinggi di kancah global. (dhs/Kominfo)