PURBALINGGA  – Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) DR Sulistyo, M.Pd meminta agar guru bersikap profesional dan tidak terjebak dalam kepentingan kelompok politik tertentu. Wadah guru hanya satu yakni PGRI, dan tidak ada organisasi lain selain PGRI yang mewadahi para guru.

”PGRI merupakan satu-satunya wadah guru dan tidak membedakan latar belakang politik, agama maupun suku. Saya prihatin ketika masih ada sejumlah organisasi guru diluar PGRI yang hanya untuk kepentingan sesaat atau individu saja,” kata Sulistyo saat menjadi nara sumber pada seminar “Memacu Profesionalisme Guru Melalui Peningkatan Kompetensi dan Pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia”, di Pendopo Dipokusumo, Pemkab Purbalingga (Jateng), Minggu (11/11/2012).

Sulistyo mencontohkan, saat ini masih ada  organisasi profesi guru  diluar PGRI. Seperti Persatuan Guru Demokrasi Indonesia yang condong ke PDI Perjuangan, kemudian ada Persatuan Guru Sejahtera yang ada pengurusnya berafiliasi ke PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ada lagi Solidaritas Guru, Forum Guru Brebes, Forum guru Pati , Persatuan Guru Nahdhatul Ulama, Himpunan Guru Muhammadiyah. ”Sudah saatnya perpecahan di kalangan guru yang berbeda organisasi itu dihentikan. Wadah guru hanya satu, yakni PGRI,” tegas Sulistyo.

Menurut Sulistyo, munculnya puluhan organisasi guru itu bisa dimaklumi ketika belum terbentuk organisasi PGRI, 67 tahun silam. Kalau itu terjadi sebelum merdeka, boleh saja. Namun sepuluh hari setelah merdeka, organisasi guru sepakat hanya satu yakni PGRI. ”Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan juga sudah menyatakan satu-satunya organisasi profesi guru yakni PGRI,” kata Sulistyo.

Dibagian lain Sulistyo menyatakan, guru juga harus menarik bagi siswa-siswinya. Jika tidak menarik maka secara tidak langsung profesi guru tidak dimintai anak-anak. Jika anak-anak ditanya, apa cita-citanya, mereka biasanya akan menjawab menjadi dokter, insinyur atau pilot. ”Tidak ada yang ingin jadi guru. Padahal, sekarang banyak orang tua yang mencari menantu dari guru, apalagi yang sudah berbaju PGRI dan bersertifikasi,” ungkap Sulistyo disambut tertawa para peserta seminar.

Sulistyo juga mengungkapkan, guru honorer yang mulai bekerja sejak tahun 2006, tidak akan secara otomatis diangkat menjadi PNS.  Status PNS bukan hanya pemberian nenek moyang, tetapi harus diraih dengan prestasi. ”Maka, guru honorer yang berprestasi akan mendapat penghargaan. Tapi penghargaan itu tidak otomatis akan diangkat menjadi PNS,” kata Sulistyo yang belakangan disebut-sebut akan tetap dicalonkan sebagai Ketua  Umum Pengurus Besar PGRI untuk satu periode mendatang.

Sementara itu Wakil Bupati Purbalingga Drs Sukento Ridho Marhaendrianto, MM saat membuka seminar tersebut mengungkapkan, kunci keberhasilan suatu pendidikan di bangku sekolah terletak pada tingkat profesionalisme guru. Indikator-indikator guru profesional dapat dilihat melalui uji kompetensi guru dan pelaksanaan kode etik guru indonesia. ”Meski masyarakat kian menyoroti uji kompetensi guru yang dianggap tidak mencerminkan kompetensi guru yang sesungguhnya, namun saya masih memiliki harapan besar,” kata sukento .

Sukento meminta, peningkatan kompetensi guru sebaiknya tidak sekadar persiapan menghadapi uji kompetensi. Tapi, kompetensi yang dimaksud adalah pendalaman ilmu, pengetahuan dan wawasan yang harus dikuasai guru seiring perkembangan jaman. Sebagai contoh ketrampilan mengoperasikan komputer, berbahasa asing, dan sebagainya.

Dalam melaksanakan tugasnya, lanjut Sukento, guru sebaiknya benar-benar memiliki keikhlasan dalam mendidik anak-anak menjadi anak yang cerdas intelektualnya, matang emosionalnya dan kuat spiritualnya, sehingga kelak anak-anak ini siap survive di masyarakat.

”Guru jangan menganggap profesinya semata-mata untuk mencari uang demi menafkahi keluarga. Karena jika uang menjadi tujuan, maka akan mudah terjerumus pada hal-hal yang mengarah pada korupsi, kolusi dan nepotisme,” kata Sukento. (Humas/y)